Dukung Pencegahan Stunting, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Keluarkan Fatwa

BANDA ACEH – Sebelum Covid-19 melanda Indonesia dan isu stunting mulai mencuat, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, telah mengeluarkan Fatwa Nomor 6 Tahun 2019, tentang Pencegahan Stunting Dalam Perspektif Hukum Islam. Fatwa ini diteken Ketua dan wakil Ketua MPU Aceh pada 28 November 2019 lalu, di Banda Aceh, dalam bentuk dukungan upaya pencegahan dan percepatan penurunan stunting di Aceh.

Hal itu disampaikan Ketua MPU Aceh. Tgk. H. Faisal Ali pada saat menjadi narasumber pada siaran langsung “Aceh Bicara” di TVRI, pada Rabu (30/12/2022) di Banda Aceh. Namun tidak sedikit yang belum mengetahuinya terkait fatwa MPU Aceh Nomor 6 Tahun 2019 tersebut.

“Fatwa ini, dukungan MPU Aceh terhadap upaya-upaya yang dilakukan pemerintah. Kita juga ikut mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat dengan tausiyah dan kutbah Jum’at. Salah satunya yaitu harus mempersiapkan diri dan upaya sekuat tenaga agar melahirkan generasi yang berkualitas dan sehat,” ucap Tgk. Faisal. Saat Fatwa diteken, Tgk Faisal, saat itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua MPU Aceh.

Menurut Tgk Faisal, fatwa dan tausiyah terkait pencegahan stunting tersebut, ditetapkan dengan pertimbangan bahwa kehidupan masyarakat sekarang ini menghadapi berbagai masalah yang berpotensi mengakibatkan gangguan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Serta, salah satu penyebab yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat adalah problem stunting.

Dalam Alquran, Pimpinan Dayah Mahyal ‘Ulum Al Aziziyah, menyebutkan, surat An-Nisa ayat 9 yang artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Selanjutnya, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh  ini memaparkan isi Fatwa tersebut yaitu Menetapkan bahwa Stunting (al-taqazzum) adalah kondisi perkembangan fisik yang timpang pada balita yang diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan sampai usia anak dua tahun.

Kemudian, paparnya lagi, stunting dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, baik aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), maupun gerakan (motorik). Pencegahan stunting hukumnya adalah sunat selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat. Dan perbuatan yang berpotensi mengakibatkan stunting hukumnya adalah makruh.

“BKKBN perlu mempererat kerjasama dengan Kemenag dalam pencegahan stunting dari hulu. Baik melalui program Pra Nikah, Kutbah Jum’at, dan tausiyah terkait pencegahan stunting di masjid maupun di meunasah. Dukungan untuk nilai keagamaan ini yang sangat terbatas. Kita rumuskan kembali kearifan lokal. Kalau dulu setiap malam Jum’at, masyarakat ada di Meunasah dan disitu biasanya disampaikan masalah-masalah yang ada di tengah masyarakat, didiskusikan kemudian dicari jalan keluarnya. Kearifan lokal seperti ini harus dihidupkan kembali. Juga gotong royong,” sarannya.

Menurut Tgk Faisal, mengapa Aceh pravelensi Stunting, 33,2% dan berada ditingkat tiga secara nasional, berkaitan erat dengan kemiskinan dan Covid-19. Dimana Aceh masih tergolong provinsi dengan angka kemiskinan tinggi ditingkat nasional dan dua tahun Covid-19, sangat berpengaruh dengan kesejahteraan masyarakat dan berdampak pada perekonomian.

“Masalah stunting ini tanggung jawab kita semua. Dari provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, hingga desa. Saya yakin setelah Covid mulai mereda, rakyat mulai sejahtera, dan Aceh tidak lagi sebagai provinsi termiskin secara nasional mau sesumatera, stunting akan zero. Mari kita terus berihtiar bersama dengan bekerjasama dan terkoordinasi. Agar kita tidak meninggalkan generasi yang lemah. Baik kesehatan, pendidikan, maupun kesejahteraan,” ajak Ketua MPU Aceh, Tgk Faisal.

Sementara itu, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Aceh, Sahidal Kastri, mengatakan, meskipun berbagai upaya percepatan penurunan stunting telah dilakukan, diakuinya, masih ada kendala di tengah masyarakat. Untuk itu kata Sahidal, peran ulama sangat diharapkan bisa memberi pencerahan terkait pencegahan stunting.

“Masyarakat kita sangat mendengar apa kata ulama. Apalagi MPU Aceh telah mengeluarkan Fatwa Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Pencegahan Stunting Dalam Perspektif Hukum Islam. Semoga Fatwa ini bisa disosialisasikan ke masyarakat baik melalu tausiyah maupun kutbah Jum’at,” harap Sahidal.

Terkait Kemenag, Sahidal menjelaskan, BKKBN dan Kementerian Agama telah melakukan penandatanganan MoU yang isi nya tiga bulan sebeum menikah sudah ada bimbingan perkawinan. Menurut Sahidal, ini salah satu upaya pencegahan dan penurunan stunting dari hulu yang dilakukan BKKBN.

“Harapan kita, ketika terjadi perkawinan diusia anak, kami hanya bisa menyarankan agar menunda kehamilan. Sebab salah satu penyebab tinggi angka stunting di Aceh adalah menikah diusia anak. Ibu muda yang hamil akan berisiko melahirkan anak stunting,” kata Sahidal.

Kaper BKKBN Aceh, tidak menafikan faktor penyebab stunting di Aceh sangat komplit dan bervariasi di daerah. Untuk itu kata dia lagi, perlu ada audit kasus stunting, agar intervensi yang dilakukan tepat dan cepat. Ia mencontohkan di Aceh Singkil dan Aceh Tenggar penyebab stunting berbeda.

Untuk itu kata Sahidal, perlu dilakukan Ausi Stunting yang melibatkan tim pakar. Kemudian hasil audit dilanjutkan dengan desiminasi dan dikusi panel, mengeluarkan rekomendasi bagaimana intervensi yang dilakukan.

“Masalah paling besar soal kebersihan. Perubahan prilaku masyarakat, pembiasaan hidup bersih dan sehat, terus kita galakan. Salah satunya, gotong royong dan keroyokan program, siapa bisa apa dan melakukan apa. Setiap kita memiliki tangungjawab yang sama. agar tidak meninggalkan generasi Aceh yang lemah kesehatan dan maupun kognitifnya,” pungkas Sahidal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *