Gerbang Lobster Raksasa di Anjungan Simeulue Curi Perhatian Pengunjung PKA 8

GlobalKini.com | BANDA ACEH – Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 yang berlangsung di taman Sultanah Safiatuddin di Banda Aceh pada 4-12 November 2023 telah menjadi sorotan utama, para pengunjung dengan kekayaan budaya dan keindahan alam Aceh yang ditampilkan dari 23 kabupaten/kota di Aceh.

Salah satu anjungan yang mencuri perhatian adalah Anjungan Kabupaten Simeulue, yang menjadi daya tarik utama bagi mereka yang ingin merasakan pesona alam bawah laut sambil berpose di hadapan gerbang lobster raksasa yang memukau.

Salah satu pengunjung asal Simeulue, Muhammd Sariffartoni berbagi kesan mendalamnya terhadap Anjungan Simeulue. Ia menyatakan, dirinya baru tiba di Banda Aceh dari Simeulue hanya ingin melihat dan bersewafoto dengan pesona lobster sebagai latar belakang fotonya benar-benar unik dan hanya dapat ditemukan di anjungan tersebut.

“Saya baru tiba di Banda Aceh dan ingin berfoto di sini, terutama karena banyak teman yang sering memposting foto mereka dengan latar belakang lobster ini di media sosial,” ujarnya dengan antusias, Rabu (08/11/2023)

Kata Sarif, anjungan Simeulue bukan hanya tentang lobster raksasa, melainkan juga menghadirkan keberagaman budaya dan rempah-rempah. Salah satunya terlihat cengkeh, pala dan lainnya.

“Saya lihat bukan hanya replika lobster saja, ada juga pajangan budaya dan rempah-rempah,” katanya.

Selain duplikat lobster, latar belakang anjungan ini dihiasi dengan buah cengkeh kering, menggambarkan bahwa Simeulue adalah penghasil cengkeh terbanyak di Aceh. Pesona buah cengkeh yang melimpah tidak hanya memperkaya pengalaman visual pengunjung tetapi juga menjadi gambaran autentik dari kekayaan alam Simeulue.

Sejarah pembuatan duplikat lobster ini memiliki akar sejak tahun 2015, ketika pemerintah Kabupaten Simeulue memutuskan untuk menciptakan replika ini sebagai upaya untuk mempromosikan kekayaan sumber daya alam dan kearifan lokal pulau tersebut.

Pulau Simeulue dikenal sebagai sarang lobster, dan hewan ini, yang termasuk dalam kelompok crustacea, dapat ditemukan melimpah di sini. Duplikat Lobster pulau Simeulue tidak hanya dipajang di Anjungan Simeulue di PKA, tetapi juga terlihat di salah satu kawasan pinggir pantai Teluk Sinabang.

Meskipun lobster ini hanyalah duplikat dari material bambu, keberadaannya di Anjungan Simeulue membuktikan daya tarik unik dan kreativitas dalam mempromosikan keindahan alam pulau.

Anjungan Simeulue bukan hanya tempat fotografi yang menarik. Taman mini dan replika kapal KMP Aceh Hebat-1 di sekitar danau kecil menambah pesona tempat ini. Tugu lobster setinggi lebih dari dua meter menjadi ikon yang memikat hati pengunjung, sementara rumah makan bergaya kafe di sekitarnya menciptakan suasana nyaman untuk bersantai, terutama di malam hari.

Di samping daya tarik visualnya, Anjungan Simeulue juga memamerkan kearifan lokal melalui ramuan obat-obatan yang berasal dari rempah-rempah tumbuh subur di pulau itu. Kain Wasra dengan motif cengkeh menambah dimensi budaya, menggambarkan kekayaan tradisional Simeulue. Pekan kebudayaan Aceh ke-8 dengan tema “Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia” secara efektif mengangkat isu jalur rempah sebagai bagian integral dari warisan budaya Aceh.

Tidak hanya tentang lobster dan cengkeh, Kabupaten Simeulue juga memperkenalkan Jariangao sebagai kearifan lokal yang turun temurun. Selain sebagai rempah, Jariangao memiliki peran penting dalam tradisi setempat. Salah satu keunikan Jariangao adalah penggunaannya sebagai gelang bayi. Batang Jariangao dikeringkan, diiris kecil, dan dijadikan gelang untuk bayi yang baru lahir atau masih balita.

Jariangao juga memiliki peran sebagai obat tradisional. Ketika bayi atau balita mengalami demam, tetua di Simeulue mengunyah Jariangao dan mencampurnya dengan daun sirih, lalu menyemburkannya kepada bayi sebagai pengobatan.

Jariangao juga jadi istilah masyarakat Simeulue ketika pertama kali berjumpa lalu kemudian saling menceritakan silsilah keluarga. Maka tak heran jika sering kita dengar ungkapan masyarakat simeulue. “Ngahae alek baon-baon Jariangao,” Artinya masih ada bau-bau jariangao atau masih ada ikatan kekeluargaan dari silsilah keluarga.

Jariangao tidak hanya menjadi benda fisik, tetapi juga istilah yang digunakan masyarakat Simeulue saat berjumpa untuk saling menceritakan silsilah keluarga.

Pengunjung seperti Ronisa merasa bahwa Anjungan Simeulue bukan hanya destinasi fotografi, tetapi juga pengalaman yang memberikan kesan mendalam dan kenangan tak terlupakan.

Sebagai bagian dari PKA, acara ini tidak hanya merayakan kebudayaan dan keindahan alam, tetapi juga memperingati warisan leluhur dalam menjaga perdamaian melalui pelestarian dan pemajuan kebudayaan.

Anjungan Simeulue, dengan pesonanya yang unik, tidak hanya menjadi simbol fotogenik tetapi juga cerminan dari kekayaan budaya dan alam pulau tersebut. Hal ini memperkuat peran Aceh sebagai pusat produksi cengkeh terbanyak di wilayah Aceh.

Sebagai destinasi yang menyatu dengan kekayaan alam dan kearifan lokal, Anjungan Simeulue di PKA ke-8 tidak hanya merayakan masa lalu, tetapi juga mengukuhkan Aceh sebagai tujuan wisata budaya yang kaya dan berwarna. Melalui eksplorasi Anjungan Simeulue, pengunjung dapat tidak hanya menikmati pesona visual tetapi juga memahami keanekaragaman budaya dan kearifan lokal yang masih terjaga di pulau ini. (ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *