Globalkini.com | Banda Aceh,- Tarian Ranup Lampuan merupakan salah satu warisan budaya Aceh dan menadi Icon tarian tradisional Aceh yang memiliki nilai-nilai sejarah, sosial, dan estetika yang kaya, dan perlu dijaga agar tidak hilang begitu saja. Tari ranup Lampuan akan ditampilkan dalam ajang acara 4 Tahunan Pekan Budaya Aceh (PKA) ke-8 .
Tari Ranub Lampuan sampai saat ini sudah menjadi salah satu identitas atau icon tarian tradisional Aceh. Karena itu sesuai dengan gerak, lagu, properti, dan fungsinya harus dilindungi dan dilestarikan.
Sekilas tentang tentang Tari Ranup Lampuan yang biasanya dibawakan oleh para penari wanita. Jumlah penari tersebut biasanya terdiri dari 5-7 orang penari. Dalam pertunjukannya, para penari dibalut dengan busana tradisional yang cantik serta membawa puan dan sirih yang nantinya akan disuguhkan kepada para tamu. Dengan diiringi oleh alunan musik tradisional, mereka menari dengan gerakannya yang khas di hadapan para tamu dan penonton.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Aceh, Almuniza Kamal, S.STP, M.Si melalui Kepala Bidang Bahasa dan Seni, Nurlaila Hamjah menyebutkan, bahwa Tarian Ranup Lampuan adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Aceh. Tarian ini memiliki nilai-nilai sejarah, sosial, dan estetika yang kaya, dan perlu dijaga agar tidak hilang begitu saja.
Nurlaila Hamjah menyatakan pentingnya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap tarian Ranup Lampuan. Dalam hal tersebut Tarian Ranup Lampuan juga akan ditampilkan dalam kegiatan PKA ke-8 yang akan digelar pada Agustus 2023. “Ini merupakan salah satu bentuk Disbudpar Aceh dalam menjaga dan melestarikan serta mempromosikan keindahan dan keunikan budaya Aceh kepada wisatawan dari berbagai daerah.”, ujar Nurlela kepada Acehheadline.com.
Tidak hanya itu, lanjut Nurlela, untuk mendukung pengembangan tarian Ranup Lampuan, Disbudpar Aceh akan berupaya menyelenggarakan pelatihan dan workshop bagi penari lokal. Tujuannya adalah memperkuat keterampilan mereka, mempertahankan teknik yang tepat, dan mengembangkan kreasi baru yang masih berlandaskan pada ciri khas tarian ini.
Disbudpar Aceh juga bekerja sama dengan komunitas tari lokal dan para pakar tari untuk menciptakan platform kolaboratif. Melalui kolaborasi ini, diharapkan dapat tercipta ruang bagi penari dan seniman tari untuk saling bertukar pengalaman, mempelajari koreografi baru, dan memperkaya ekspresi artistik dalam konteks Ranup Lampuan.
Selain itu pihaknya juga aktif aktif mempromosikan seni tradisional Aceh termasuk tarian Ranup Lampuan melalui berbagai media baik itu media cetak maupun elektronik serta melalui media sosial serta dalam acara pariwisata maupun dalam pertunjukan reguler di berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar Aceh, agar tarian ini semakin dikenal dan diapresiasi oleh masyarakat luas.
Upaya konkretnya, Kadisbudpar Aceh, Almuniza Kamal, S.STP, M.Si, berkomitmen untuk mendukung pengembangan tarian Ranup Lampuan. “Dengan demikian, harapannya adalah tarian ini akan terus hidup dan menjadi warisan budaya yang berharga bagi generasi saat ini dan generasi yang akan mendatang”, ujar Kadisbudpar Aceh, Almuniza Kamal melalui Kepala Bidang Bahasa dan Seni, Nurlaila Hamjah.
Sekilas Sejarah Tari Ranup Lampuan
Tari Ranup Lampuan merupakan salah satu karya seni monumental yang dilahirkan oleh para seniman Aceh. Ranup Lampuan dalam bahasa Aceh, berarti sirih dalam puan. Puan adalah tempat sirih khas Aceh.
Karya tari yang berlatar belakang adat istiadat ini secara koreografi menceritakan bagaimana kebiasaan masyarakat Aceh menyambut tamu ini setiap gerakannya mempunyai arti tersendiri. Seperti gerakan salam sembah, memetik sirih lalu membuang tangkainya, membersihkan sirih, menyapukan kapur, lalu memberi gambir dan pinang, sampai menyuguhkan sirih kepada yang datang.
Dikutip dari laman website resmi Pemerintah Aceh, acehprov.go.id, Almarhum Yusrizar yang yang lahir di Banda Aceh pada 23 Juli 1937, adalah pencipta Tarian Ranup Lam Puan yang fenomenal. Tarian Ranup Lampuan diciptakan beliau ditahun 1959,. Dan juga beliau menciptakan: Tari Meusare-sare, Bungong Sieyueng-yueng, Tron U Laot, Poh Kipah, Tari Rebana, dan Sendratari Cakra Donya Iskandar Muda. Tari ini, pada mulanya hanya terdapat di Kota Banda Aceh, dan dengan cepat menyebar ke setiap kabupaten dan kota lainnya di seluruh Aceh.
Pada awalnya, tari ini tidak menggunakan selendang sebagai properti, dan penarinya memakai sanggul Aceh yang tinggi dihiasi hiasan kepala. Tarian yang berdurasi tiga sampai sembilan menit ini diiringi orkestra atau band. Adapun sosok pencipta musik dari irama tarian lanup lam puan adalah Almarhum T Djohan pengarang lagu Tanoh Lon Sayang.
Tari Ranup Lampuan merupakan kreasi mentradisi setelah menjalani proses panjang untuk menjadi tari tradisi dengan terus menyesuaikan diri sesuai zaman. Maka tahun 1959 ketika tim kesenian Aceh akan melakukan lawatan kerajaan ke Malaysia dalam rangka pertukaran cendramata, tari Ranup Lampuan dimodifikasi dengan menambah tiga orang penari pria, dua penari sebagai pemegang pedang dan satu penari sebagai pemegang vandel.
Kemudian sekitar tahun 1966, setelah mendengar saran dari para tetua adat, bahwa pekerjaan menyuguhkan sirih adalah pekerjaan kaum perempuan, maka alangkah baiknya jika tari tersebut ditarikan oleh perempuan saja. Begitu juga tentang persoalan durasi waktu pertunjukan yang dirasakan terlalu panjang, sehingga tari Ranup Lampuan mengalami pemadatan. Hal ini berjalan sekitar delapan tahun.
Pasca PKA II tahun 1972, dengan munculnya seni tradisional memberi pengaruh terhadap tari Ranup Lampuan khususnya untuk iringan tarian. Semula iringan musik Orkes atau band selanjutnya peran ini diganti dengan iringan alat musik tradisional yaitu Serune kale, Gendrang, dan Rapa‘i.
Pengubahan ini sejalan dengan permintaan dari panitia Festival tari tingkat nasional 1974 yang meminta tari tradisional tampil dengan diiringi musik tradisional pula. Hal itu diubah ketika acara peresmian gedung pertamina di Blang Padang.
Bagi mereka pencinta tari Aceh, menelusuri jejak Tari Ranup Lampuan sama seperti merekam budaya Aceh, tari yang merefleksikan kehidupan sehari-hari orang Aceh yang terkenal ramah dan suka memuliakan tamu. Sudah seharusnya penciptanya pun mendapat tempat untuk diabadikan dan selalu diingat masyarakat Aceh.
Sirih (Ranub) sebagai simbol Pemulia Tamu
Sirih sebagai simbol pemulia tamu atau penghormatan terhadap sesorang yang dihormati. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Aceh untuk menjamu tamunya.
Dalam tradisi Jamuan raja-raja di Aceh, seperti Jamuan kepada Sir James Lancastle utusan Raja Inggris James I pada masa Sultan Alauddin Riayatsyah Saidil Mukammal (1602 M), sirih sudah merupakan suguhan persembahan kepada tamu-tamu agung. Tradisi penyuguhan sirih untuk memuliakan tamu sudah merakyat sejak dari dahulu kala dalam masyarakat Aceh.
Berkaitan dengan adat menyuguhkan sirih tersebut, dapat diartikasn sebagai simbol kerendahan hati dan sengaaja memuliakan tamu atau orang lain walaupun dia sendiri adalah seorang yang pemberani dan peramah.
Sirih (Ranub) sebagai sumber perdamaian dan Kehangatan Sosial
Sirih bermakna sebagai sumber perdamaian dan kehangatan sosial tergambat ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, peusijuek, meu-uroh, dan upacara-upacara lainnya. Semua upacara-upacara tersebut diawali dengan menyuguhkan sirih sebelum upacara tersebut dimulai.
Sirih sebagai Media Komunikasi Sosial
Sirih sebagai Media Komunikasi Sosial, Sirih sering diungkapkan dengan Istilah Ranub Sigapu sebagai pembuka komunikasi. Setiap buku yang dikarang masyaraakat Aceh, ranub sigapu menjadi bagian yang paling awal dari isi buku tersebut.