Lima Daerah Raih Gelar Terbaik dalam Kompetisi Tarian Tradisional di PKA ke-8

GlobalKini.com | BANDA ACEH – Merupakan momen yang memukau bagi lima kabupaten/kota di Aceh yang dinobatkan sebagai penyaji terbaik dalam Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8, yang digelar di Indoor Taman Seni Budaya, Banda Aceh. Acara ini menjadi panggung bagi keanekaragaman budaya Aceh, di mana Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Kabupaten Nagan Raya, dan perwakilan Kota Lhokseumawe berhasil menunjukkan keindahan tarian tradisional mereka.

Dalam pertunjukan yang memikat hati penonton, setiap kabupaten dan kota menampilkan tarian terbaiknya dalam persaingan sehat di antara keindahan dan keunikan seni tradisional Aceh. Di bawah sorotan lima dewan juri, para penari dengan penuh semangat mempersembahkan ragam gerak, melibatkan penonton dalam sebuah perjalanan indah ke dalam kekayaan budaya Aceh.

Kepala Bidang Bahasa dan Seni Disbudpar Aceh, Nurlaila Hamjah, menekankan bahwa dalam event ini, penilaian lebih dititikberatkan pada orisinilitas, keseragaman gerak, kerapian, dan kekompakan, bukan sekadar menentukan juara. “Semua tarian itu bagus dan indah. Apalagi semua daerah memiliki tarian khas masing-masing dengan keindahannya tersendiri,” ujar Nurlaila, Jumat, (10/11/2023).

Tidak hanya sebagai kompetisi, PKA ke-8 dianggap sebagai wahana untuk memunculkan kembali karya terbaik dari setiap daerah. Aceh Tengah, misalnya, menampilkan keindahan Tari Guel, sementara Gayo Lues memukau penonton dengan Tari Bines. Bahkan, Simeulue membawa ke hadapan panggung tarian Madidik, sebuah kejutan yang belum banyak dikenal oleh warga pesisir Aceh.

Kabupaten/kota pesisir juga tampil kompak dengan menyajikan tarian khas seperti Tari Ratep Meuseukat, Seudati, dan Tari Likok Pulo. “Kalau kita buatkan juara nanti ada yang berpikir Tari Seudati lebih baik dari Likok Pulo. Sebenarnya bukan itu, semua tari baik dan indah, yang ingin kita lihat itu penampilannya,” jelas Nurlaila, menyoroti keunikan dan keindahan masing-masing penampilan.

Dua daerah, Kabupaten Bener Meriah dan Kota Subulussalam, memilih untuk tidak ambil bagian dalam lomba tersebut. Meskipun demikian, perlombaan tari tradisional ini tetap menjadi bagian integral dari upaya lebih luas untuk melestarikan seni dan budaya di Aceh.

Pada dasarnya, Pekan Kebudayaan Aceh bukan hanya tentang perebutan gelar juara, tetapi lebih pada perayaan kekayaan budaya yang dimiliki oleh setiap daerah. Dalam setiap gerakan tari tradisional, terkandung nilai-nilai sejarah, cerita, dan warisan nenek moyang yang terus dijaga agar tidak tenggelam oleh arus zaman.

Menyoroti pentingnya acara seperti PKA ke-8, Profesor Siti Rahmah, seorang ahli antropologi budaya di Universitas Syiah Kuala, menyatakan, “Inisiatif seperti ini penting untuk menyelamatkan dan memajukan warisan budaya kita. Tarian tradisional bukan hanya sebagai bentuk seni, tetapi juga jendela ke dalam sejarah dan identitas masyarakat Aceh.”

Selain sebagai ajang kompetisi tari, Pekan Kebudayaan Aceh juga menampilkan pameran seni dan kerajinan lokal. Menariknya, pameran ini tidak hanya melibatkan seniman profesional, tetapi juga membuka ruang bagi para seniman lokal, termasuk generasi muda, untuk memamerkan karya-karya kreatif mereka.

“Kami ingin memberikan peluang kepada generasi muda untuk mengekspresikan diri mereka melalui seni dan budaya. Melalui PKA, mereka dapat belajar dan terinspirasi oleh keberagaman budaya yang dimiliki Aceh,” kata Siti Rahmah dengan penuh semangat.

Tidak hanya menjadi panggung untuk seniman, PKA ke-8 juga menjadi forum untuk pembicaraan dan lokakarya tentang pentingnya melestarikan kebudayaan di tengah arus globalisasi. Melalui diskusi ini, para peserta dan masyarakat umum dapat lebih memahami tantangan dan peluang dalam upaya pelestarian kearifan lokal.

Salah satu penonton, Irwansyah, mengatakan “Saya merasa terinspirasi dan lebih menghargai kekayaan budaya Aceh. Ini memotivasi saya untuk lebih baik lagi dalam upaya pelestarian warisan nenek moyang kita.”

Selain itu, PKA ke-8 juga menghadirkan pertunjukan musik tradisional Aceh, menggabungkan unsur-unsur modern dan tradisional untuk menciptakan pengalaman yang memukau bagi penonton. Kolaborasi antara musisi tradisional dan generasi muda menciptakan getaran yang membawa Aceh ke panggung global.

Dalam suasana penuh semangat dan kegembiraan, PKA ke-8 diakhiri dengan tarian budaya yang melibatkan masyarakat luas. Peserta tarian dari berbagai kelompok masyarakat, dan menunjukkan kebersamaan dalam melestarikan warisan leluhur.

Momen puncak Tari adalah penampilan gabungan dari para penari terbaik lima kabupaten/kota yang telah dinobatkan. Mereka bersatu dalam satu pertunjukkan megah, menciptakan gambaran yang indah tentang kebersamaan dalam keberagaman.

“Pekan Kebudayaan Aceh bukan hanya sekadar acara tahunan, tetapi merupakan wadah untuk membangun solidaritas dan kebanggaan akan identitas budaya kita. Semoga kegiatan seperti ini terus berlanjut dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang,” ungkap Irwansyah.

Dengan demikian, Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 bukan hanya menjadi panggung pertunjukan tari, tetapi juga simbol kebersamaan dalam menjaga dan menghargai warisan budaya yang kaya. Melalui acara ini, Aceh terus menunjukkan bahwa keanekaragaman budaya adalah kekuatan yang mempersatukan, menciptakan fondasi yang kuat untuk masa depan yang lebih gemilang.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *