Pameran Megah Anjungan Kota Sabang: Jejak Spiritual Jemaah Haji dan Kilau Sejarah Pelabuhan Sabang

GlobalKini.com | BANDA ACEH – Dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8, Anjungan Kota Sabang menampilkan sejarah yang memukau tentang perjalanan spiritual jemaah haji zaman dulu. Acara ini digelar dengan megah di Taman Sulthanah Safiatuddin, Banda Aceh, dan menarik perhatian masyarakat serta pengunjung dari berbagai daerah.

Koordinator Anjungan Kota Sabang, Evan Boy, dengan penuh semangat menceritakan kolaborasi yang sukses dengan Museum Sabang BPKS, yang menyumbangkan sekitar 85 persen dari koleksi yang dipamerkan. “Kami sangat bersyukur atas kerjasama ini, dan hasilnya begitu memukau,” ungkapnya, Selasa (07/11/2023)

Salah satu sorotan utama dari pameran ini adalah miniatur kapal penumpang kolonial Belanda yang digunakan pada masa itu untuk membawa jemaah haji ke Tanah Suci.

Dalam paparannya, Evan menjelaskan bahwa kapal ini menjadi ikon perjalanan spiritual pada tahun 1924. “Kapal ini bukan hanya alat transportasi, tapi juga menyimpan cerita perjalanan yang sarat makna spiritual,” tambah Evan.

Anjungan Sabang

Miniatur kapal tersebut bukan hanya sekadar replika, melainkan pintu masuk bagi pengunjung untuk merasakan atmosfer perjalanan jemaah haji pada zaman dahulu. Sejumlah foto-foto historis menggambarkan aktivitas bongkar muat barang di pelabuhan Sabang, menciptakan suasana autentik yang memindahkan pengunjung ke era tersebut.

Menariknya, Evan juga mengungkapkan bahwa pada tahun 1924, Pelabuhan Sabang, khususnya Pulau Rubiah, menjadi embarkasi pertama bagi jemaah haji. “Pulau Rubiah menjadi saksi bisu awal perjalanan spiritual mereka menuju Tanah Suci,” jelasnya.

Perjalanan spiritual jemaah haji pada masa itu tidak semudah seperti sekarang. Evan menggambarkan bahwa menggunakan kapal kolonial Belanda memakan waktu enam bulan pergi dan kembali ke Indonesia. Setelah tiba di pelabuhan Sabang, para jemaah dikumpulkan dan diangkut ke Pulau Rubiah, tempat embarkasi haji berada.

Setelah menjalani ibadah haji, proses kepulangan jemaah tidak berakhir begitu saja. Pihak Belanda melakukan pendataan terhadap jemaah untuk mengetahui jumlah pribumi yang kembali ke Indonesia. “Seluruhnya di karantina untuk mencegah penyakit yang dibawa dari Tanah Suci. Ketatnya pengawasan Belanda saat itu menjadi kenangan tersendiri,” sambung Evan.

Sejarah pelabuhan bebas Sabang pada tahun 1924 juga menjadi sorotan dalam pameran ini. Evan menjelaskan bahwa pelabuhan ini menjadi salah satu jalur perdagangan tersibuk di dunia karena menjadi pertemuan jalur internasional. Keberadaan Selat Malaka, yang berseberangan dengan Pulau Sabang, membuat semua kapal internasional pasti singgah di Sabang.

“Seluruh kapal yang singgah di Sabang melakukan berbagai aktivitas, seperti loading barang, mengisi bahan bakar, air, dan bahkan melakukan transaksi jual beli atau barter barang. Pelabuhan Sabang pada masa itu benar-benar menjadi pusat kegiatan perdagangan yang sibuk,” papar Evan dengan antusias.

Pameran di Anjungan Kota Sabang tidak hanya menyentuh aspek sejarah, tetapi juga memberikan perspektif yang mendalam tentang perjalanan spiritual dan aktivitas ekonomi pada masa tersebut. Pengunjung dapat merasakan bagaimana para jemaah haji menjalani perjalanan panjang dengan kapal penumpang kolonial Belanda, sekaligus menyaksikan vitalitas pelabuhan Sabang sebagai pusat perdagangan yang strategis.

Acara ini juga mendapat apresiasi tinggi dari pengunjung. Ratna Sari, seorang pengunjung asal Aceh Besar, menyatakan, “Saya merasa terkesan dengan detail miniatur kapal dan foto-foto bersejarah. Ini benar-benar membawa kami kembali ke masa lalu dan memahami perjalanan spiritual yang penuh pengorbanan.”

Pameran di Anjungan Kota Sabang tidak hanya berfungsi sebagai wahana hiburan dan edukasi, tetapi juga sebagai bentuk pelestarian sejarah dan warisan budaya. Melalui keseruan dan ketegangan perjalanan jemaah haji pada masa lalu, generasi muda dapat lebih memahami akar budaya mereka dan menghargai perjalanan spiritual yang telah dilakukan oleh para pendahulu.

Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 dan pameran di Anjungan Kota Sabang membuktikan bahwa sejarah bukan hanya catatan kering yang terlupakan, melainkan cerita hidup yang dapat menginspirasi dan menghubungkan generasi yang berbeda. Dengan menjaga dan memahami sejarah, kita dapat lebih menghargai perjalanan kolektif kita sebagai bangsa.

Evan berharap bahwa generasi muda akan mendapatkan inspirasi untuk lebih menghargai dan menjaga sejarah mereka sendiri. “Melalui pengalaman visual dan cerita yang hidup, kami berharap dapat menumbuhkan rasa kebanggaan akan identitas budaya Aceh dan Indonesia pada umumnya,” tambahnya.

Acara ini juga menjadi platform untuk memperkenalkan nilai-nilai toleransi dan keragaman yang telah menjadi bagian integral dari keberagaman budaya Aceh. Pameran mengajak pengunjung untuk merenung dan memahami bahwa keberagaman adalah kekayaan, dan melalui pemahaman tersebut, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.

Dengan kesuksesan Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 dan pameran di Anjungan Kota Sabang, diharapkan bahwa inisiatif semacam ini akan terus berkembang. Membuka pintu gerbang menuju masa lalu bukan hanya menghidupkan kembali kenangan, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam memahami arah masa depan. Sebagai warga negara yang berakar pada sejarahnya, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan merawat akar budaya yang memberi makna pada kehidupan kita saat ini.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *