BANDA ACEH – Nama Mesut Ozil kembali trending di Twitter setelah Timnas Jerman gagal ke 16 besar Piala Dunia 2022, Jumat (2/12/2022) dini hari WIB. Sejauh ini, sudah 14 tim memastikan tempat di 16 besar.
Timnas Jerman tersingkir di babak penyisihan Piala Dunia Qatar meski menang 4-2 pada pertandingan terakhir melawan Kosta Rika karena kalah selisih gol dari Spanyol.
Timnas Spanyol kalah 1-2 dari Jepang, mengoleksi poin 4, sama dengan Timnas Jepang, tapi Jerman kalah selisih gol (lihat, Rekap Piala Dunia Tadi Malam).
Masalah Rasisme
Mesut Oezil (33) kini bermain untuk klub Liga Super Turki, Fenerbahce.
Saat Jerman tersingkir, Ozil sebenarnya ada di Qatar. Namun tidak begitu jelas apakah Ozil ikut menyaksikan pertandingan Timnas Jerman vs Kosta Rika (lihat, Ozil Ada di Qatar).
Dikutip dari Tribunnews.com, Ozil —imigran dari Turki berkewarganegaraan Jerman— masuk dalam deretan trending media sosial Twitter pada hari Jumat (2/12/2022).
Terpantau sebanyak 11 ribu cuitan menuliskan nama eks pemain Arsenal itu setelah Jerman tersungkur di Qatar.
Alasan Ozil –mantan pemain Real Madrid– kembali trending di Twitter tak jauh dari masalah rasisme yang dia terima ketika masih membela Der Panzer.
Fans menilai kegagalan Jerman di Qatar lantaran tidak menghargai Mesut Ozil.
Sedikit menarik ke belakang, Ozil kala itu memutuskan untuk mundur dari Timnas Jerman tahun Piala Dunia 2018 Rusia.
Tepatnya ketika Timnas Jerman tak mampu lolos ke babak 16 besar ketika tampil di Rusia
Mengutip dari foreignpolicy, Mesut Ozil jadi pemain yang paling disalahkan atas kegagalan Timnas Jerman.
Padahal Ozil dinilai sebagai pemain yang cukup gacor ketika Jerman dikalahkan oleh Korea Selatan 2-0 saat itu.
Akan tetapi gegara isu rasisme tersebut, mantan pemain Der Panzer ini justru jadi bulan-bulanan.
Kini ketika mentas di Piala Dunia 2022, Jerman kembali menjadi sorotan.
Skuad asuhan Hansi Flick ini bahkan sempat menyandang gelar tim terburuk saat matchday 1 di Piala Dunia 2022.
Alasan Jerman mendapat gelar tim terburuk.
1. Aksi Tutup Mulut
Suporter cukup menyoroti gestur tutup mulut yang diperagakan para pemain Timnas Jerman sebelum bertanding melawan Jepang.
Bisa dibilang, banyak yang kurang setuju dengan apa yang dilakukan anak asuh Hansi Flick tersebut.
Tudingan standar ganda langsung dialamatkan kepada mereka.
Pasalnya, Jerman bungkam kala Mesut Ozil bersuara soal kemanusiaan, khususnya yang menyangkut nasib muslim Uighur.
Atas aksi tutup mulut ini, Jerman juga dianggap kurang fokus dalam menghadapi Jepang.
Meski demikian, Jerman tetap teguh dengan gestur tutup mulut tersebut.
“Kami ingin menggunakan ban kapten kami untuk mempertahankan nilai yang selama ini kami pegang di Timnas Nasional Jerman,” dikutip Tribunnews dari akun instagram @dfb_team.
“Yakni perihal keberagaman dan saling menghormati, kami ingin suara kami didengar, ini bukan pernyataan politik tapi hak asasi manusia yang dinegosiasikan,”
“Melarang kami memakai ban kapten itu (One Love) seperti membungkam kami,” tulisnya
Ban kapten ‘One Love’ secara tidak langsung mendukung perilaku hubungan sesama jenis antar manusia. Ini merupakan sikap umum sejumlah negara Eropa yang ingin mendikte nilai-nilai mereka ke Qatar selaku tuan rumah Piala Dunia.
Perilaku itu biasanya dikenal dengan LGBTQ+ (Lesby, Gay, Biseksual, Transgender, Queer).
Qatar yang mayoritas penduduknya beragama Muslim tentu tidak mendukung aksi ‘One Love’ yang sedang dikampanyekan sejumlah negara Barat.
Alhasil, sejumlah suporter Qatar menyuarakan itu dihadapan para pemain Jerman dengan aksi serupa tutup mulut.
Menariknya, suporter Qatar juga membawa sketsa foto Mesut Ozil pemain Muslim yang pernah memperkuat Jerman.
2. Kasus Ozil
Gelar tim terburuk juga mengacu pada perlakuan Jerman kepada Mesut Ozil pada medio 2018 silam
Der Panzer dianggap mengucilkan Ozil kala sang pemain menyuarakan beberapa isu kemanusiaan.
Ozil juga dianggap seperti orang asing oleh suporter saat Timnas Jerman tak lolos Piala Dunia 2018.
Hal yang membuat kecewa Ozil pada saat itu adalah para pemain yang ikut bungkam atas tindakan rasisme yang dia alami.
Saat Ozil mendapatkan perlakuan tersebut, tak ada yang ikut membela Ozil.
Ia mengaku tak pernah menyesal keluar dari Timnas Jerman.
3. Main Bak Anak SD
Gelar tim terburuk juga merujuk pada permainan Jerman kala menghadapi Jepang di matchday 1.
Der Panzer tak bisa memeragakan permainan atraktif dan efektif yang menjadi andalan mereka selama ini.
Justru, Thomas Muller dkk seperti kebingungan untuk menebar ancaman ke gawang Samurai Biru.
Saking jeleknya permainan tim, Ilkay Gundogan ikut menyoroti performa Jerman.
Menurutnya, Jerman bermain selayaknya bocah yang masih berada di sekolah dasar.
“Kami membuatnya terlalu mudah bagi Jepang,” ungkap Gundogan dikutip dari laman DFB.
“Cara kami kebobolan seperti anak-anak sekolah dasar, terutama gol kedua.”
“Saya tidak berpikir juara dunia akan kebobolan gol sesederhana itu,” sambungnya
Kini setelah tersingkir dari Piala Dunia 2022, kenangan di Rusia kembali terulang.
Di mana kala itu Jerman yang turun sebagai juara bertahan tak mampu lolos ke babak 16 besar.
Kenangan buruk kembali dialami oleh Der Panzer saat di bawah asuhan Hansi Flick.
Ozil dan Indonesia
Ozil punya hubungan dengan Indonesia, setidaknya pada sepak bola.
Ketika terjadi Tragedi Kanjuruhan, Oktober 2022, Ozil menyampaikan ucapan duka melalui akun Twitter @M10 dalam bahasa Indonesia
“Saya berdoa untuk para korban semoga ditempatkan di tempat yang paling mulia di sisi TUHAN #StadionKanjuruhan,” tulis Ozil melalui akun @M10.
Pada Mei 2022, sebelum Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan suporter bola di Malang, Jawa Timur, Ozil berkunjung ke Indonesia untuk sejumlah kegiatan sosial.
Ketika berada di Indonesia, Ozil mengatakan menyukai Masjid Istiqlal di Jakarta dan Bali. Ia ingin berlibur bersama keluarganya di Bali.
Paksakan Nilai
Jelang dimulainya Piala Dunia 2012 Qatar, sejumlah negara dan media Barat menyerang Qatar atas tuduhan melanggar HAM pekerja migran, larangan LQBT, dan minum bir.
Qatar adalah negara Muslim pertama, negara Timur Tengah pertama, yang menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Barat ingin Qatar seperti Barat, menerapkan nilai-nilai Barat –hal yang ditolak dengan keras dan konsisten oleh Qatar.
Tak kurang dari Presiden FIFA Gianni Infantino –pemegang paspor Swiss tapi berdarah Italia– yang berbicara terbuka membela Qatar seraya menyerang Barat melakukan tindakan munafik.
Ketika berbicara dalam jumpa pers di Qatar jelang pembukaan Piala Dunia, Infatino nyaris tak bicara soal sepak bola.
Tribunnews.com melaporkan, di hadapan ratusan jurnalis, termasuk jurnalis Barat, Infantino tampak murung menjawab kritik mengenai penyelenggaraan ajang akbar sepak bola sejak pandemi covid-19 melanda dunia.
Infantino memusatkan perhatiannya pada apa yang disebutnya “kemunafikan” kritik Barat.
Terutama mengenai pelanggaran hak asasi manusia. Pekerja migran yang terlibat dalam pembangunan fasilitas infrastrukur Piala Dunia Qatar disebut mengalami ketidakadilan.
“Kami diajari banyak pelajaran dari orang Eropa, dari dunia Barat,” katanya, mengacu pada kritik terhadap catatan hak asasi manusia Qatar.
“Apa yang kami orang Eropa telah lakukan selama 3.000 tahun terakhir, kami harus meminta maaf selama 3.000 tahun ke depan sebelum mulai memberikan pelajaran moral,” katanya seperti diberitakan CNN.
Infantino telah menghabiskan banyak waktu membela keputusan FIFA pada tahun 2010 untuk memberikan Piala Dunia ke Qatar.
Turnamen ini akan menjadi sejarah, sebab untuk kali pertama digelar di Timur Tengah. Namun, di sisi lain terperosok dalam kontroversi.
Sebut saja dugaan pelanggaran HAM, mulai dari kematian pekerja migran, kondisi yang dialami mereka, LGBTQ, hingga hak-hak perempuan.
Infantino mengakui ada hal-hal yang tidak sempurna. Namun, ia mengatakan beberapa kritik “sangat tidak adil” dan menuduh Barat melakukan standar ganda.
Secara pribadi, ia tahu betul bagaimana rasanya didiskriminasi.
Ingatannya mundur jauh ke belakang saat masih kanak-kanak. Ia diintimidasi karena memiliki rambut merah dan bintik-bintik.
“Hari ini saya merasa seperti orang Qatar. Hari ini saya merasa Arab. Hari ini saya merasa Afrika. Hari ini aku merasa gay. Hari ini saya merasa cacat. Hari ini saya merasa sebagai pekerja migran,” katanya.
Hadirin yang menyaksikannya bicara tertegun.
“Apa yang saya lihat membawa saya kembali ke kisah pribadi saya. Saya adalah anak pekerja migran. Orang tua saya bekerja sangat keras dalam situasi sulit.”
Infantino mengatakan kemajuan telah dibuat di Qatar dalam mengatasi berbagai masalah dan perubahan nyata membutuhkan waktu.
Ia menambahkan bahwa FIFA tidak akan meninggalkan negara itu setelah turnamen selesai dan beberapa jurnalis Barat akan melupakan masalah tersebut.
“Kita perlu berinvestasi dalam pendidikan, memberi mereka masa depan yang lebih baik, memberi mereka harapan. Kita semua harus mendidik diri kita sendiri.”
“Reformasi dan perubahan membutuhkan waktu. Butuh ratusan tahun di negara kita di Eropa. Butuh waktu di mana-mana, satu-satunya cara untuk mendapatkan hasil adalah dengan melibatkan, bukan dengan berteriak.”
Soal alkohol, Infantino mengatakan, “Akan ada lebih dari 200 tempat di mana Anda dapat membeli alkohol di Qatar dan lebih dari 10 zona penggemar, di mana lebih dari 100.000 orang dapat minum alkohol secara bersamaan.”
“Menurut saya pribadi, jika selama tiga jam sehari Anda tidak minum bir, Anda akan tetap hidup.”
Sejumlah stadion di Eropa juga melarang minuman alkohol di dalam stadion.
“Tampaknya menjadi hal besar karena ini adalah negara Muslim, saya tidak tahu mengapa,” pungkasnya.
Suatu waktu, Infantino ingin Korea Utara –negara yang dikucilkan oleh Amerika Serikat dan sekutu– menjadi tuan rumah Piala Dunia.